Subsidi Pertanian Harus Dinaikkan
Subsidi sektor pertanian Indonesia masih terlalu rendah bila dibandingkan negara-nagara maju. Ini membuat produk pertanian Indonesia sulit bersaing di pasar bebas internasional. Sudah semestinya kenaikan subsidi pertanian dipandang sebagai investasi, bukan beban biaya.
Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Erik Satrya Wardhana (F-Hanura) mengemukakan hal tersebut di sela-sela rapat kerja dengan Menteri Perdagangan, Senin (25/11). Seperti diketahui, sektor pertanian menjadi isu strategis Indonesia dalam pertemuan WTO ke-9 di Nusa Dua, Bali, pada 3-9 Desember 2013. Subsidi pertanian Indonesia masih sekitar 7% dari APBN. Sementara Amerika dan Eropa mencapai 21%.
Negara-negara berkembang berhak menghimbau negara-negara maju untuk menurunkan subsidinya. Atau bila tidak bisa, negara berkembang yang harus menaikkan subsidi pertaniannya. Mendag Gita Wirjawan sendiri dalam rapat dengan Komisi VI, menegaskan, Indonesia akan meminta negara maju untuk menurunkan subsidi pertaniannya dalam pertemuan WTO Desember mendatang.
“Kalau anggaran kita digunakan untuk subsidi pertanian, saya kira itu bukan biaya, tapi investasi. Itu biaya yang harus dikeluarkan supaya rakyat kita bisa mendapatkan makanan yang murah, layak, bergizi, dan akhirnya mereka akan tumbuh menjadi manusia yang sehat dan cerdas. Subsidi adalah investasi dan menjadi hak setiap negara,” papar Erik.
Ketika ditanya, apakah APBN kita cukup untuk menaikkan subsidi pertanian, Erik menjawab, sangat cukup. Anggaran sektor pertanian mencapai Rp1,7 trilun. “Sepanjang kita mau selektif memberi prioritas yang benar terhadap mata anggaran, saya kira kita sanggup,” tandas Erik.
Erik juga melihat, tampaknya pertemuan WTO selalu dijadikan instrumen bagi kepentingan negara-negara maju untuk membuka pasarnya di negara-negara berkembang. Subsidi yang tinggi untuk sektor pertanian di negara-negara maju merupakan indikatornya. Dan sebagai tuan rumah, Indonesia harus mampu meminta negara maju untuk menurunkan subsidi tersebut.
Lebih lanjut Erik menegaskan, kita bisa menutup pasar negara maju, bila mereka hanya menjadikan pertemuan WTO sebagai instrumen mereka, tanpa mau peduli terhadap negara-negara berkembang. “Menurut saya pemerintah harus punya kepercayaan diri yang kuat. Kepercayaan itu menyangkut kepentingan pasar kita, sehingga kita punya posisi tawar yang cukup.” (mh), foto : iwan/parle/hr.